Derby of England Minggu (23/9) malam memang emosional. Sangat
emosional malah. Apa yang terbentang di Stadion Anfield, di depan 44.263
penonton – 2.500 diantaranya fans United, adalah dominasi Liverpool.
Soal possession, The Kops unggul 57:43 persen. Shots on target 13:8.
Sepak pojok 7:3.
Tapi wasit Mark Halsey setidaknya memberi warna lain. Dia mengusir
Jonjo Shelvey dengan kartu merah, menit ke-39, untuk tackling dua
kakinya pada Jonny Evans setelah beberapa detik sebelumnya menghajar
Ryan Giggs. Dia juga memberi hadiah penalti untuk tackling ringan Glenn Johnson pada intersepsi berani Valencia.
Kasihan memang Rodgers. Hampir 51 menit dengan 10 pemain, bahkan
hanya dengan 9 pemain dalam dua menit terakhir — di luar injury time 7
menit 18 detik, pelatih muda ini belum juga memberikan kemenangan.
Padahal dia sudah konsentrasi penuh menyongsong duel emosional ini,
termasuk dengan menyimpan separuh kekuatannya saat Liverpool dijamu
Young Boys Austria dalam Liga Europa.
Liverpool menyerah. Ini kekalahan pertama mereka di Anfield dalam
rekor lima tahun terakhir Derby of England mereka. Menyesakkan.
Parahnya, Rodgers juga kehilangan Martin Kelly, Fabio Borini dan Daniel
Agger yang cedera serius dalam partai ini. Tim terbaik telah hilang
dalam laga terbaik.
Sedih memang. Dan sangat bisa dimengerti betapa terpukulnya Steven
Gerrard usai laga. Meski banyak features menyebut Valencia adalah man of
the match, tapi buat saya Gerrard yang tampil mentereng. Skipper
Inggris itu sangat konsisten dan elegant sepanjang permainan, termasuk
gol berkelas dan satu-satunya, yang dilesakkan menit ke-46.
Gerrard terpuruk. Dia yang kehilangan sepupunya, satu dari 96 korban
yang tewas dalam Tragedi Hillsborough 23 tahun silam, tentu saja ingin
menyudahi pertandingan dengan tiga point, kemenangan pertama mereka
musim ini. Usai pertandingan, dia justru memuji fans Liverpool dan
United. “Mereka saling respect. Ini satu hal yang harus saya puji.”
Ya, saling respect. Itu yang dibangun jauh-jauh hari, sampai datang
big-day Minggu kemarin. Ketika lagu You’ll Never Walk Alone menggema
khusyuk, tidak ada respon negative dari fans United—sesuatu yang langka
kalau kita simak betapa sinisnya rivalitas mereka.
Lihat juga Giggs yang dalam partai ini sudah tampil 46 kali dalam
laga rivalitas United vs Liverpool. Giggs, dengan ban kapten sebab Vidic
masih absen, bersama Gerrard melepas 96 balon sebagai symbol mengenang
korban tewas dalam Tragedi Hillsborough.
Lihat juga bagaimana tiga mosaic di tiga sisi tribun Anfield dengan
tulisan: “96”, “Truth” dan “Justice”. Sungguh menggugah emosi. Makin
teraduk ketika dua legenda hidup dua tim, Bobby Charlton dan Si Burung
Betet Ian Rush dengan sebuket kembang yang mereka pegang; atau tulisan
“This is Anfield” yang angker di bawahnya ada tambahan symbol hati
berwarna pink dengan angka “96” di tengahnya.
Ini juga menarik: sebelum laga, dalam prosesi saling bersalaman,
kedua tim masuk lapangan dengan stadium-jacket bertuliskan angka “96” di
punggung masing-masing pemain. Dan ini dia: Luis Suarez dan Patrice
Evra bersalaman. Finally…
Sepakbola bukan soal hidup atau mati. Sepakbola bukan soal kalah atau
menang. Football is an honest game. Cerita yang terbentang di sebuah
panggung yang bernama lapangan hijau, sebutlah laga Liverpool vs United,
adalah bumbu yang membuat sepakbola itu menjadi indah.
Saya termasuk orang yang tidak habis pikir dengan penampilan sangat
jelek Nani, juga Evra. Saya mau Scholes masuk, menggusur Nani dan
menggeser Giggs kembali ke sayap. Itu baru terjadi di babak kedua, meski
Evra dipertahankan dan Alex Buttner tetap disimpan Ferguson.
Saya pun tidak habis pikir mengapa Shelvey menudingkan jarinya kepada
Ferguson saat dia diusir wasit Hasley meski kemudian dia dengan gentle
minta maaf via akun twitternya.
Tapi sepanjang permainan saya dipuaskan dengan aksi Valencia,
Scholes, Rafael da Silva, Lindegaard, Ferdinand. Dari kubu Liverpool
tentu saja Gerrard plus Allen yang dominan di lini kedua, Johnsson,
Suarez serta dua anak muda yang menjanjikan: Suso dan Sterling.
Itulah cerita dari drama (di) Anfield dalam rivalitas abadi dengan
tensi tinggi yang menguras emosi. Dan itu semua buat saya adalah The
Power of Soccer.
Kalau saja Bill Shankly tau apa yang terjadi dalam Derby of
England/North-West Derby/English Classico/The Red War/The Battle of
Yorkshire, atau apapun namanya, jasadnya pasti akan tersenyum. Laga di
Anfield Minggu (23/9) lalu itu telah menjelaskan: hakikat sepakbola jauh
lebih penting dari segalanya. Ya keindahannya, juga kekuatannya. Itulah
dia: The Power of Soccer.
Salam hangat dari saya. Salam sepakbola.
Senin, 22 Oktober 2012
The Power Of Soccer
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar