Senin, 22 Oktober 2012

The Power Of Soccer

Derby of England Minggu (23/9) malam memang emosional. Sangat emosional malah. Apa yang terbentang di Stadion Anfield, di depan 44.263 penonton – 2.500 diantaranya fans United, adalah dominasi Liverpool. Soal possession, The Kops unggul 57:43 persen. Shots on target 13:8. Sepak pojok 7:3.
Tapi wasit Mark Halsey setidaknya memberi warna lain. Dia mengusir Jonjo Shelvey dengan kartu merah, menit ke-39, untuk tackling dua kakinya pada Jonny Evans setelah beberapa detik sebelumnya menghajar Ryan Giggs.  Dia juga memberi hadiah penalti untuk tackling ringan Glenn Johnson pada intersepsi berani Valencia.
Kasihan memang Rodgers. Hampir 51 menit dengan 10 pemain, bahkan hanya dengan 9 pemain dalam dua menit terakhir — di luar injury time 7 menit 18 detik, pelatih muda ini belum juga memberikan kemenangan. Padahal dia sudah konsentrasi penuh menyongsong duel emosional ini, termasuk dengan menyimpan separuh kekuatannya saat Liverpool dijamu Young Boys Austria dalam Liga Europa.
Liverpool menyerah. Ini kekalahan pertama mereka di Anfield dalam rekor lima tahun terakhir Derby of England mereka. Menyesakkan. Parahnya, Rodgers juga kehilangan Martin Kelly, Fabio Borini dan Daniel Agger yang cedera serius dalam partai ini. Tim terbaik telah hilang dalam laga terbaik.
Sedih memang. Dan sangat bisa dimengerti betapa terpukulnya Steven Gerrard usai laga. Meski banyak features menyebut Valencia adalah man of the match, tapi buat saya Gerrard yang tampil mentereng. Skipper Inggris itu sangat konsisten dan elegant sepanjang permainan, termasuk gol berkelas dan satu-satunya, yang dilesakkan menit ke-46.
Gerrard terpuruk. Dia yang kehilangan sepupunya, satu dari 96 korban yang tewas dalam Tragedi Hillsborough 23 tahun silam, tentu saja ingin menyudahi pertandingan dengan tiga point, kemenangan pertama mereka musim ini. Usai pertandingan, dia justru memuji fans Liverpool dan United. “Mereka saling respect. Ini satu hal yang harus saya puji.”

Ya, saling respect. Itu yang dibangun jauh-jauh hari, sampai datang big-day Minggu kemarin. Ketika lagu You’ll Never Walk Alone menggema khusyuk, tidak ada respon negative dari fans United—sesuatu yang langka kalau kita simak betapa sinisnya rivalitas mereka.
Lihat juga Giggs yang dalam partai ini sudah tampil 46 kali dalam laga rivalitas United vs Liverpool. Giggs, dengan ban kapten sebab Vidic masih absen, bersama Gerrard melepas 96 balon sebagai symbol mengenang korban tewas dalam Tragedi Hillsborough.
Lihat juga bagaimana tiga mosaic di tiga sisi tribun Anfield dengan tulisan: “96”, “Truth” dan “Justice”. Sungguh menggugah emosi. Makin teraduk ketika dua legenda hidup dua tim, Bobby Charlton dan Si Burung Betet Ian Rush dengan sebuket kembang yang mereka pegang; atau tulisan “This is Anfield” yang angker di bawahnya ada tambahan symbol hati berwarna pink dengan angka “96” di tengahnya.
Ini juga menarik: sebelum laga, dalam prosesi saling bersalaman, kedua tim masuk lapangan dengan stadium-jacket bertuliskan angka “96” di punggung masing-masing pemain. Dan ini dia: Luis Suarez dan Patrice Evra bersalaman. Finally…

Sepakbola bukan soal hidup atau mati. Sepakbola bukan soal kalah atau menang. Football is an honest game. Cerita yang terbentang di sebuah panggung yang bernama lapangan hijau, sebutlah laga Liverpool vs United, adalah bumbu yang membuat sepakbola itu menjadi indah.
Saya termasuk orang yang tidak habis pikir dengan penampilan sangat jelek Nani, juga Evra. Saya mau Scholes masuk, menggusur Nani dan menggeser Giggs kembali ke sayap. Itu baru terjadi di babak kedua, meski Evra dipertahankan dan Alex Buttner tetap disimpan Ferguson.
Saya pun tidak habis pikir mengapa Shelvey menudingkan jarinya kepada Ferguson saat dia diusir wasit Hasley meski kemudian dia dengan gentle minta maaf via akun twitternya.
Tapi sepanjang permainan saya dipuaskan dengan aksi Valencia, Scholes, Rafael da Silva, Lindegaard, Ferdinand. Dari kubu Liverpool tentu saja Gerrard plus Allen yang dominan di lini kedua, Johnsson, Suarez serta dua anak muda yang menjanjikan: Suso dan Sterling.

Itulah cerita dari drama (di) Anfield dalam rivalitas abadi dengan tensi tinggi yang menguras emosi. Dan itu semua buat saya adalah The Power of Soccer.
Kalau saja Bill Shankly tau apa yang terjadi dalam Derby of England/North-West Derby/English Classico/The Red War/The Battle of Yorkshire, atau apapun namanya, jasadnya pasti akan tersenyum. Laga di Anfield Minggu (23/9) lalu itu telah menjelaskan: hakikat sepakbola jauh lebih penting dari segalanya. Ya keindahannya, juga kekuatannya. Itulah dia: The Power of Soccer.
Salam hangat dari saya. Salam sepakbola.

0 komentar:

Posting Komentar