Sesungguhnya Ibadah Shalat merupakan sebaik-baiknya amal, ia
mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah Subhânahu wa Ta’âla, ibadah
inilah yang membedakan antara orang mukmin dan kafir. Ia merupakan
ibadah yang mampu melebur dosa seseorang. Ketika seorang mukmin
mengetahui betapa pentingnya shalat dan begitu mulianya kedudukannya di
sisi Allah Subhânahu wa Ta’âla, maka tentu sebagai seorang muslim kita
harus melaksanakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
digariskan oleh aturan Syariat kita, yaitu Islam. Shalat khusyu’
merupakan dambaan setiap kita, bahkan berbagai macam cara yang dilakukan
seseorang untuk menggapai Shalat khusyu’, diantara mereka ada yang
mematikan lampu ketika shalat, ada yang memejamkan matanya, ada yang
mengosongkan semua fikirannya, ada yang merasakan terbangnya rohnya
ketika shalat, bahkan untuk menggapai kekhusyukan mereka membuat
pelatihan-pelatihan shalat khusyu’. Tentunya semua hal ini menimbulkan
suatu pertanyaan, apakah memang seperti itu shalat khusyu’? Apakah
cara-cara seperti tersebut sudah sesuai menurut tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam? Insya Allah melalui beberapa edisi
buletin ini kita akan kupas kenapa pentingnya shalat khusyu’? Apa
definisi khusyu’? Apa hukumnya dan apa kiat-kiat untuk menggapainya?
Pentingnya Khusyu’ dalam Shalat.
Khusyu’ merupakan perkara agung, cepat sirnanya dan jarang
keberadaanya ditemukan, khususnya di akhir zaman ini yang penuh dengan
berbagai macam fitnah dan godaan, baik godaan dari manusia maupun godaan
dari syetan yang berupaya memalingkan manusia dari kekhusyukan.
Jauhnya manusia dari kekhusyukan dalam melaksanakan shalat, hal ini
adalah benar adanya, bahkan seorang sahabat besar yang bernama Huzaifah
ibnu Yaman radhiyallahu ‘anhu telah menggambarkan:
“Yang pertama
kali yang akan hilang dari agamamu adalah khusyuk’, dan hal yang
terakhir yang akan hilang dari agamamu adalah shalat. Betapa banyak
orang shalat tetapi tiada kebaikan padanya, hampir saja engkau memasuki
masjid, sementara tidak ditemukan diantara mereka orang yang khusyuk.” (Madarijussalikin, Imam Ibnul Qayyim 1/521)
Bila kita tanyakan dan kita pantau shalat yang dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin, maka jawabannya adalah mereka jauh dari
kekhusyukan. Fikiran mereka menerawang entah kemana, hati mereka lalai,
bahkan was-was dari syetanpun muncul tatkala mereka melaksanakan shalat,
Oleh karena itu pembahasan seputar tentang shalat khusyuk ini merupakan
pembahasan yang sangat penting sekali, dan dibutuhkan oleh kaum
muslimin yang ingin meningkatkan kualitas ibadah shalatnya. Dimana hal
ini akan membawa mereka kepada kebahagian dan kemenangan, sebagaimana
yang telah disebutkan Allah Subhânahu wa Ta’âla di dalam al-Qurân:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. al-Mu’minuun: 1-2)
Makna Khusyu’
Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan bahwa
Khusyu’ adalah: “Ketenangan, tuma’ninah, pelan-pelan, ketetapan hati,
tawadhu’, serta merasa takut dan selalu merasa diawasi oleh Allah ‘Azza
wa Jalla.”
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa Khusyu’ adalah:
“Menghadapnya hati di hadapan Robb ‘Azza wa Jalla dengan sikap tunduk dan rendah diri.” (Madarijusslikin 1/520 )
Definisi lain dari khusyu’ dalam shalat adalah:
“Hadirnya hati di
hadapan Allah Subhânahu wa Ta’âla, sambil mengkonsertasikan hati agar
dekat kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla, dengan demikian akan membuat
hati tenang, tenangnya gerakan-gerakannya, beradab di hadapan Robbnya,
konsentrasi terhadap apa yang dia katakan dan yang dilakukan dalam
shalat dari awal sampai akhir, jauh dari was-was syaithan dan pemikiran
yang jelek, dan ia merupakan ruh shalat. Shalat yang tidak ada
kekhusyukan adalah shalat yang tidak ada ruhnya.” (Tafsir Taisir Karimirrahman, oleh Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di)
Letak Khusyu’
Tempat khusyu’ adalah di hati, sedangkan buahnya akan tampak pada
anggota badan. Anggota badan hanya akan mengikuti hati, jika kekhusyukan
rusak akibat kelalaian dan kelengahan, serta was-was, maka rusaklah
‘ubudiyah anggota badan yang lain. Sebab hati adalah ibarat raja,
sedangkan anggota badan yang lainnya sebagai pasukan dan bala
tentaranya. Kepadanya-lah mereka ta’at dan darinya-lah sumber segala
perintah, jika sang raja dipecat dengan bentuk hilangnya penghambaan
hati, maka hilanglah rakyat yaitu anggota-anggota badan.
Dengan demikian, menampakkan kekhusyukkan dengan anggota badan, atau
melalui gerakan-gerakan, supaya orang menyangka bahwa si fulan khusyu’,
maka hal itu adalah sikap yang tercela, sebab diantara tanda-tanda
keikhlasan adalah menyembunyikan kekhusyukan.
Suatu ketika Huzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Jauhilah
oleh kalian kekhusyukan munafik, lalu ditanyakan kepadanya: Apa yang
dimaksud kekhusyukan munafik? Ia menjawab: “Engkau melihat jasadnya
khusyu’ sementara hatinya tidak”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membagi khusyu’ kepada dua macam, yaitu khusyu’ nifaq dan khusyuk iman.
Khusyu’ nifaq adalah: “Khusyu’ yang tampak pada permukaan anggota
badan saja dalam sifatnya, yang dipaksakan dan dibuat-buat, sementara
hatinya tidak khusyuk.”
Khusyuk iman adalah: “Khusyuknya hati kepada Allah Subhânahu wa
Ta’âla dengan sikap mengagungkan, memuliakan, sikap tenang, takut dan
malu. Hatinya terbuka untuk Allah Subhânahu wa Ta’âla, dengan
keterbukaan yang diliputi kehinaan karena khawatir, malu bercampur cinta
menyaksikan nikmat-nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dan kejahatan dirinya
sendiri. Dengan demikian secara otomatis hati menjadi khusyu’ yang
kemudian diikuti khusyu’nya anggota badan.”
Hukum Khusyu’ dalam Shalat.
Menurut pendapat yang kuat, bahwa khusyu’ dalam shalat hukumnya
wajib. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam
menafsirkan firman Allah Ta’âla:
“Jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu lebih berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. al-Baqarah: 45)
Beliau rahimahullah mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan:
“Ayat tersebut mengandung celaan atas orang-orang yang tidak khusyu’
dalam shalat, celaan tidak akan terjadi kecuali karena meninggalkan
perkara-perkara penting atau wajib, atau karena keharaman yang
dilakukan”.
Kemudian bila kita lihat dalam al-Qurân Allah Subhânahu wa Ta’âla menjelaskan sifat-sifat calon penghuni surga firdaus:
“Sungguh beruntunglah orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS.
al-Mu’minuun: 1-2), pada ayat ke 11 Allah Subhânahu wa Ta’âla
memberikan isyarat, (bagi orang yang khusyu’), dengan mengatakan:
“Mereka itulah, orang-orang yang mewarisi Surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Mu’minuun: 11)
Melalui ayat tersebut Allah Subhânahu wa Ta’âla mengabarkan bahwa
mereka (orang yang khusyu’) adalah calon pewaris Jannatul Firdaus. Hal
tersebut mengisyaratkan bahwa selain mereka tidak layak mewarisinya.
Meraih surga bagi seorang muslim hukumnya adalah wajib, maka jalan atau
wasilah untuk mencapai surga tersebut hukumnya juga wajib, dan shalat
yang khusyu’ hukumnya ikut menjadi wajib karena merupakan salah satu
sarana untuk meraih surga firdaus.
Kiat-Kiat Meraih Shalat Khusyu’ Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Dalam meraih shalat khusyu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberikan kiat-kiat yang jelas, bahkan para ulama telah membuat
bab-bab dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
rahimahullah membuat Bab Anjuran Khusyu’ dalam Shalat.
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Munajjid rahimahullah dalam kitab
beliau “33 Kiat Mencapai Khusyu’ dalam Shalat” menjelaskan; bahwa untuk
mencapai khusyu’ dalam shalat ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan:
- Memperhatikan hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan dalam shalat.
- Menolak hal-hal yang menghilangkan kekhusyukan dan melemahkannya.
Ad1. Memperhatikan hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan dalam shalat
Untuk mencapai hal-hal yang akan mendatangkan kekhusyukan ada
beberapa kiat yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, diantaranya:
a. Mempersiapkan diri sepenuhnya untuk shalat
Adapun bentuk-bentuk persiapannya yaitu: ikut menjawab azan yang
dikumandangkan oleh muazin, kemudian diikuti dengan membaca do’a yang
disyariatkan, bersiwak karena hal ini akan membersihkan mulut dan
menyegarkannya, kemudian memakai pakaian yang baik dan bersih,
sebagaimana firman Allah Ta’âla:
“Hai anak adam, pakailah pakaianmu
yang indah di setiap memasuki masjid, makanlah dan minumlah. Jangan
berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS. al-A’raaf: 31)
Diantara bentuk persiapan lain adalah berjalan ke masjid dengan penuh
ketenangan dan tidak tergesa-gesa, lalu setelah sampai di depan masjid,
maka masuk dengan membaca do’a dan keluar darinya juga membaca do’a,
melaksanakan shalat sunnat Tahiyyatul masjid ketika telah berada di
dalam masjid, merapatkan dan meluruskan shaf, karena syetan berupaya
untuk mencari celah untuk ditempatinya dalam barisan shaf shalat.
Dengan melakukan bentuk persiapan tersebut maka Insya Allah akan membantu dalam kekhusyukan.
b. Tuma’ninah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu tuma’ninah dalam
shalatnya, sehingga seluruh anggota badannya menempati posisi semula,
bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang
buruk shalatnya supaya melakukan tuma’ninah sebagaimana sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak sempurna shalat salah seorang diantara kalian, kecuali dengannya (tuma’ninah).”
Bahkan di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyamakan orang yang tidak tuima’ninah tersebut dengan orang
yang mencuri dalam shalatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah
radhiyallahu ‘anhu:
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Seburuk-buruk pencurian yang dilakukan manusia adalah orang
yang mencuri shalatnya.” Qatadah berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana
seseorang tersebut di katakan mencuri shalatnya? Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia tidak menyempurnakan ruku’ dan
sujudnya.” (HR. Ahmad dan al-Hakim 1/229)
Orang yang tidak tuma’ninah dalam shalatnya, tentu tidak akan
merasakan kekhusyukan, sebab menunaikan shalat dengan cepat akan
menghilangkan kekhusyukan, sedangkan shalat seperti mematuk burung, maka
hal itu akan menghilangkan pahala.
Oleh karena itulah karena pentingnya tuma’ninah, maka wajib bagi
seorang muslim untuk tuma’ninah dalam shalatnya sehingga shalatnya
diterima oleh Allah Ta’âla.
C. Mengingat mati ketika shalat
Hal ini berdasarkan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila engkau shalat maka shalatlah seperti orang yang hendak berpisah (mati)”. (HR. Ahmad V/412, Shahihul Jami’, no. 742)
Jelaslah bahwasanya hal ini akan mendorong setiap orang untuk
bersungguh-sungguh dalam shalatnya, karena orang yang akan berpisah
tentu akan merasa kehilangan dan tidak akan berjumpa kembali, sehingga
akan muncul upaya dari dalam dirinya untuk bersungguh-sungguh, dan hal
ini seolah-olah baginya merupakan kesempatan terakhir untuk shalat.
D. Menghayati makna bacaan shalat
Al-Qurân diturunkan agar direnungkan dan dihayati maknanya, sebagaimana firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
“Ini
adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah, supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran”. (QS. Shaad: 29)
Sikap penghayatan tidak akan terwujud kecuali dengan memahami makna
swetiap yang kita baca. Dengan memahami maknanya, maka seseorang akan
dapat menghayati dan berfikir tentangnya, sehingga mengucurlah air
matanya, karena pengaruh makna yang mendalam sampai ke lubuk hatinya.
Dalam hal ini Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: “
Dan orang-orang
yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Robb mereka, mereka
tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta”. (QS. al-Furqan: 73)
Di dalam ayat yang mulia ini Allah Subhânahu wa Ta’âla menjelaskan
betapa pentingnya memperhatikan makna dari ayat yang dibaca. al-Imam
Ibnu Jarir rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya saya sangat heran
kepada orang yang membaca al-Qurân, sementara dia tidak mengetahui
maknanya. Bagaimana mungkin dia akan mendapatkan kelezatan ketika dia
membacanya? (Muqaddimah Tafsir at-Thobari karya Muhammad Syakir)
E. Membaca surat sambil berhenti pada tiap ayat
Hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana yang dikisahkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha tentang
bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membaca
al-fatihah, yaitu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Basmalah,
kemudian berhenti, kemudian membaca ayat berikutnya lalu berhenti.
Demikian seterusnya sampai selesai (HR. Abu Daud, no. 4001)
F. Membaca al-Qurân dengan tartil
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhânahu wa Ta’âla:
“Dan bacalah al-Qurân dengan perlahan-lahan”. (QS. al-Muzammil: 4)
Dan diriwayatkan dengan shahih bahwa bacaan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah perlahan-lahan serta satu huruf-satu huruf
(Musnad Ahmad 6/294 dengan sanad shahih, Shifatus sholah: 105)
Membaca dengan perlahan dan tartil lebih bisa membantu untuk
merenungi ayat-ayat yang dibaca dan mendatangkan kekhusyu’an. Adapun
membaca dengan ketergesa-gesaan akan menjauhkan hati dari kekhusyukan.
G. Meyakini bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âla akan mengabulkan permintaannya ketika seorang hamba sedang melaksanakan shalat
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Qudsi: “Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman:
‘Aku
membagi Shalatku dengan hamba-Ku-menjadi dua bagian, dan bagi hambaku
setiap apa yang dia minta. Jika hamba-Ku mengucapkan Alhamdu lillahi
Robbil’âlamin, Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: ‘hamba-Ku telah
menyanjung-Ku. Jika ia mengucapkan Mâ likiyaumiddin, Allah Subhânahu wa
Ta’âla berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuliakan dan mengagungkan-Ku”. (Shahih Muslim, Kitabus Shalat, Bab Wajibnya Membaca al-Fatihah dalam Setiap Rakaat)
Hadits yang mulia ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang yang
sedang melaksanakan shalat, yaitu ketika ia membaca al-Fatihah maka
bacaan tersebut mendapat balasan langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla,
maka ini akan menjadi pendorong kita dalam mencapai kekhusyukan.
H. Meletakkan sutrah.(tabir pembatas) dan mendekatkan diri kepadanya
Hal ini lebih bertujuan untuk memperpendek dan menjaga penglihatan
orang yang sedang melaksankan Shalat, sekaligus menjaga dirinya dari
syetan. Disamping itu juga dapat menjauhkan diri dari lalu lalangnya
orang yang lewat di sekitar kita, karena lewatnya orang lain secara
hilir mudik dapat mengganggu kekhusyukan shalat.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang diantara kalian melaksanakan Shalat dengan
menggunakan tabir, maka hendaklah ia mendekat padanya, sehingga syetan
tidak akan memotong Shalatnya”.(HR. Abu Daud, no. 446/1695)
Adapun jarak antara seseorang dengan tabir (sutrah) adalah tiga kali
panjang lengan, dan antara tabir dengan tempat sujudnya adalah, seluas
tempat lewatnya seekor kambing, sebagaimana yang banyak disebut dalam
hadits-hadits shahih. (lihat Fathul Bari 1/574-579)
I. Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di dada
“Adalah Rasulullah jika sedang Shalat,beliau meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri”. (HR. Muslim)
Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Para ulama berkata: ‘Hikmah
dari sikap tersebut (meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di
dada)-pen merupakan bentuk sifat dari seseorang yang meminta-minta
dengan perasaan hina, sikap tersebut lebih mampu menghindarkan sifat
main-main, dan lebih dekat kepada kekhusyukan”. (lihat Fathul Bari
2/224)
J. Melihat kearah tempat sujud
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “
Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sedang shalat, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepala serta mengarahkan
pandangannya ke tanah (tempat sujud)”. (HR. al-Hakim 1/479, dia
berkata shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, disepakati juga oleh
al-Albani dalam buku shifatus Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hal 89)
Dari sini jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam Shalat melihat ke arah tempat sujud dan tidak memejamkan matanya,
maka orang yang memejamkan matanya berarti amalannya bertentangan dengan
sunnah.
K. Memohon perlindungan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla dari godaan syetan
Godaan syetan akan selalu datang kepada siapa saja yang akan
menghadap Allah Subhânahu wa Ta’âla, oleh karena itu seorang hamba
hendaknya tegar dalam beribadah kepada Allah Ta’âla, seraya tetap
melakukan amalan-amalan zikir ataupun shalat,dan jangan sampai goyah,
sebab dengan selalu menekuni hal-hal tersebut,godaan dan tipu daya
syetan akan hilang dengan sendirinya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “
Sesungguhnya tipu daya syetan itu adalah lemah.(QS. an-Nisa’: 76)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika seorang
diantara kalian berdiri shalat, maka datanglah syetan, kemudian ia
mengacaukannya (mengacaukan shalatnya dan memasukkan padanya keraguan)
sehingga tidak mengetahui berapa rakaat ia shalat. Jika salah seorang
diantara kalian mendapati hal demikian, maka hendaklah ia bersujud dua
kali ketika dia sedang duduk”. (HR. Bukhari)
Itulah diantara hal-hal yang membantu kekhusyukan, yang tidak bisa
kami sebutkan semuanya karena keterbatasan tempat, namun
setidak-tidaknya ini sebagai suatu jalan bagi kita untuk menuju khusyu’.
Adapun faktor yang kedua dari hal-hal yang akan membawa kekhusyukan
adalah dengan mengetahui penghalang-penghalang kekhusyukan dan
menolaknya. Adapun penghalang-penghalang kekhusyukan adalah sebagai
berikut:
A. Menghilangkan sesuatu yang mengganggu di tempat shalat
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Adalah ‘Aisyah memiliki selembar kain yang berwarna-warni yang
digunakan untuk menutupi bagian samping rumahnya. Melihat itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Hilangkan itu dari pandanganku, sebab gambar-gambarnya selalu terbayang dan menggoda pandanganku pada waktu shalat”.
(HR. Bukhari/lihat Fathul Bari 10/391). Dan termasuk perkara yang harus
dihindari adalah Shalat di tempat lalu lalang manusia, tempat yang
ramai dan gaduh serta berisik, di dekat orang yang sedang
bercakap-cakap.
B. Tidak shalat di tempat yang terlalu dingin atau terlalu panas, jika hal tersebut memungkinkan
Karena hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan dalam shalat.
C. Menghindari shalat di dekat makanan yang disukai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak baik Shalat dilaksanakan di hadapan (di dekat) makanan yang telah dihidangkan”. (HR.
Muslim, no. 560). Jika makanan yang telah dihidangkan dan berada
dihadapannya, maka ia berhak mendahulukan makan, sebab jika ia tidak
makan dan meninggalkannya (tidak makan terlebih dahulu), ia tidak akan
merasa khusyu’ dan hatinya akan selalu teringat pada makanan tersebut,
bahkan seyogyanya dia tidak tergesa-gesa dalam makannya sehingga
betul-betul terpenuhi hajatnya.
D.Menghindari shalat dalam kondisi mengantuk
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika
salah seorang dari kalian merasa mengantuk dalam shalat, hendaklah ia
tidur terlebih dahulu, sehingga ia mengetahui apa yang diucapkannya”. (HR. Bukhari, no. 210)
E. Jangan shalat di belakang orang-orang yang bercakap-cakap ataupun tidur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah Shalat
di belakang orang yang sedang tidur dan juga orang-orang yang sedang
bercakap-cakap”. (HR. Abu Daud, no. 694)
Karena suara orang-orang yang sedang bercakap-cakap dapat merusak konsentrasi seseorang yang sedang Shalat.
F. Menghindari shalat dalam keadaan menahan buang air besar ataupun kecil
Karena hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat dalam kondisi
Haaqin yaitu menahan buang air kecil dan besar. (HR. Ibnu Majah dalam
Sunannya no. 617)
G. Tidak menyibukkan diri untuk membersihkan debu
H. Dimakruhkan mengusap dahi dan hidung dalam shalat
I. Tidak boleh mengganggu orang yang sedang shalat dengan mengeraskan bacaan
J. Tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan ketika shalat
K. Tidak mengarahkan pandangan ke langit
L. Jangan meludah ke depan ketika sedang shalat
M. Berusaha untuk tidak menguap ketika shalat
N. Tidak mencontoh gerakan atau tingkah laku binatang
Driwayatkan dalam hadits bahwasanya:
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang tiga perkara dalam Shalat, yaitu perilaku
mematuk seperti burung gagak, duduk seperti duduknya binatang buas,
mengambil tempat tertentu sebagaimana unta mengambil tempat duduknya
(menderum)”. (HR. Ahmad 3/428)
Demikianlah beberapa kiat-kiat dalam meraih Shalat Khusyu, semoga
dengan mengetahuinya akan mengantarkan kita menuju Shalat yang khusyu’,
yang pada intinya sangat praktis, mudah dan ekonomis tanpa membutuhkan
biaya yang besar. Wallahu a’lam
***
Oleh: Faishal Abdurrahman, Lc